SEJARAH PANCEG DINA GALUR
Panceg
dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awak lebur…”
(Teguh dalam pendirian, bersama-sama menjaga kampung dan persaudaraan.
Tidak akan bergeming walaupun badan hancur lebur). Petikan naskah kuno
Amanat Galunggung yang dituliskan Rakeyan Darmasiksa (Raja Sunda Kuno
yang hidup pada 1175-1297 Masehi) itu disadur menjadi lirik lagu
berjudul ”Kujang Rompang” oleh Jasad, sebuah band beraliran death metal
asal Bandung. Lagu ini ikut memeriahkan Deathfest IV, festival akbar
death metal yang diadakan di Lapangan Yon Zipur, Ujungberung, Bandung,
Sabtu (17/10). Ribuan anak muda, mulai dari pelajar SMP hingga
mahasiswa, larut dalam hiruk-pikuk event musik metal yang disebut-sebut
terbesar di Asia ini.
Meski
pertunjukan musik baru mulai selepas maghrib, pada siang hari yang
sangat terik itu mereka sudah nongkrong menunggu band-band idola mereka
manggung. Sambil mengenakan kaus hitam bermotif seram dan atribut metal
lainnya, mereka antusias menunggu.
Filosofi
panceg dina galur bukanlah sekadar inspirasi dalam berkarya musik bagi
Jasad, melainkan juga menjadi pandangan hidup seluruh anggota dan
penggemar musik metal di Bandung, khususnya yang bernaung di daerah
Ujungberung.
”Mau
seperti apa pun kita, macam mana bungkusnya, yang penting grass root
(akar bawah) harus kuat. Harus sadar dan jangan lupakan budaya kita,”
ujar Mohammad Rohman, vokalis Jasad.
Bagi
masyarakat awam, bahkan dibandingkan komunitas band metal lainnya di
Indonesia maupun dunia, keberadaan subkultur band death metal asal
Ujungberung ini merupakan sebuah paradoks. Musik metal, tetapi lirik dan
pesan nyunda adalah perpaduan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Ketika
di banyak tempat sub-subkultur atas nama aliran musik berhaluan Barat
macam punk, grunge, maupun grindcore gencar melakukan perlawanan budaya
lokal, entitas penggemar musik metal Ujungberung yang berada di wadah
Ujungberung Rebels dan Bandung Death Metal Sindikat itu justru melakukan
hal sebaliknya.
Sebagai
contoh, konser Death Festival IV yang diikuti 12 band death metal itu
mengangkat tema kampanye penggunaan aksara kuno. Di festival yang
menjadi salah satu pembuka penyelenggaraan Helar Festival 2009 (festival
industri kreatif di Bandung) itu, panitia membagi-bagikan leaflet
mengenai cara menulis aksara sunda kuno kagana kepada penonton yang
rata-rata masih berusia ABG.
”Di
sekolah-sekolah, saya lihat, ini (kagana) tidaklah diajarkan. Daripada
kelamaan menunggu pemerintah bertindak, kami duluan saja yang mulai
bergerak,” ujar Rohman yang biasa disapa Man ”Jasad” ini di sela-sela
konser.
Di
luar panggung, Man dan kawan-kawannya kerap memakai iket kepala sebagai
penanda identitas kultur Sunda. Meski, sehari-harinya mereka tidak lepas
dari jaket kulit hitam maupun aksesori anting-anting dan tato.
Upaya
mengenalkan tradisi Sunda tidak terhenti di sana saja. Di dalam
berbagai kesempatan, anak-anak Bandung Death Metal Sindikat kerap
menyisipkan pertunjukan karinding, celempung, dan debus.
”Kesenian
karinding yang selama 400 tahun tenggelam coba kami hidupkan kembali,”
tutur Dadang Hermawan, anggota Bandung Death Metal Syndicate. ”Di tiap
Minggu dan Jumat melakukan tumpek kaliwon di Sumur Bandung dan Tangkuban
Parahu untuk membicarakan kesenian Sunda,” tutur Man Jasad kemudian.
Terbanyak di dunia
Kelompok
band metal yang ada di Ujungberung bahkan disebut-sebut yang terbanyak
di dunia. Sejak awal 1990-an hingga kini, band-band metal tumbuh subur
di Ujungberung. Saat ini terdapat sekitar 200 band metal hanya di
wilayah pinggiran Kota Bandung ini.
”Padahal,
Bandung hanya kota kecil jika dibandingkan dengan kota-kota di Jerman.
Apalagi, di sini band-band ini kan harus dikondisikan bisa bertahan
hidup di tengah banyak persoalan dan tekanan aparat,” tutur Philipp
Heilmeyer, mahasiswa sosial-antropologi Goethe Universitat Frankfurt,
terheran-heran.
Philipp
sudah tiga bulan ini berada di Bandung untuk melakukan prapenelitian
mengenai kehidupan kaum metal di Ujungberung ini. Hal lain yang menarik
perhatiannya adalah mengapa komunitas metal di Ujungberung ini bisa
bertahan justru dengan tetap berpijak pada nilai-nilai tradisi.
”Di
Jerman, kaum metal biasanya lekat dengan kebiasaan mabuk-mabukan dan
narkoba. Tetapi, mereka di sini malahan melakukan ini,” ucapnya sambil
merujuk kegiatan sosialisasi aksara kagana yang dilakukan Bandung Death
Metal Sindikat.
Yang
disesalkan Aris Kadarisman (35), pentolan grup band Disinfected,
masyarakat, khususnya kepolisian, melihat kaum metal justru dari sisi
kelamnya.
Perang
melawan stigma bahwa musik metal tidak identik dengan kekerasan,
narkoba, dan semacamnya menjadi semakin sulit pascatragedi konser maut
grup band Beside di Asia Africa Culture Center yang mengakibatkan
tewasnya 11 penonton, Februari 2008. ”Padahal, ini terjadi lebih karena
persoalan teknis, tidak cukupnya kapasitas tempat,” ucapnya.
Kemandirian ekonomi
Di
tengah-tengah dorongan untuk mewujudkan mimpi memiliki gedung konser
yang representatif, anak-anak metal ini seolah-olah terusir dari kota
kelahirannya. Konser di gedung maupun tempat terbuka kini menjadi hal
langka buat mereka. Deathfest IV pun bisa terwujud karena menggandeng
kegiatan Helarfest 2009.
Kondisi
ini pun disayangkan Ketua Bandung Creative City Forum Ridwan Kamil.
Menurut dia, jika dilihat lebih jauh dari dalam, komunitas metal di
Bandung menyimpan keunggulan yang luar biasa besar. Keunggulan itu
terutama soal kemandirian ekonomi.
Dari
musik yang diciptakan, didukung loyalitas para penggemarnya, secara
tidak langsung itu menumbuhkan pula industri fesyen, rekaman, bahkan
literasi.
Setidaknya,
ada enam titik simpul industri fesyen yang dirintis sesepuh band metal
di Ujungberung semacam Scumbagh Premium Throath yang didirikan almarhum
Ivan Scumbag dari Burgerkill.
”Jika
musisi lain itu filosofnya adalah musik untuk kerjaan, kami justru
sebaliknya. Dari kerjaan, bisnis, ya untuk menghidupi musik,” tutur
Dadang. ”Sebab, musik ini adalah the way of life kami. Tidak semuanya
bisa dinilai dengan uang. Art is art, money is money,” ucap Man Jasad
menimpali.
Tidak
diragukan lagi, kekuatan ketabahan hati dan pikiran inilah yang membuat
kelompok metal di Bandung ini tetap bertahan. Persis sesuai dengan
paradigma mereka: panceg dina galur, moal ingkah najan awak lembur!
(Yulvianus Harjono).
0 Response to "SEJARAH PANCEG DINA GALUR"
Posting Komentar